Page 3: The Longing.

Seragam kaos merah, helm dan rambut dikuncir. Gadis berperawakan kurus itu menaiki motor dan menyalakan mesin sambil menghembus nafas. Keranjang di belakangnya penuh dengan lembaran surat dan kotak yang sudah dikemas rapi; siap untuk diantarkan ke penjuru daerahnya. Bukan pekerjaan lazim bagi gadis yang usianya baru memasuki 20-an, namun ia lebih memilih mengirim paket ke daerah di sekitarnya sambil menghirup udara segar Minggu pagi. Sekadar membantu otaknya lepas dari jenuh masa kuliahnya.

Sejujurnya, ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya semenjak mulai membantu sanaknya mengirim paket-paket ini. Sebuah rumah yang tak asing sempat bernaung di ingatannya, rumah yang di dalamnya tinggal keluarga dari laki-laki yang dirindukannya—setidaknya sebagaimana memori di otaknya berkata demikian. Sejak menemukan rumah itu, si gadis mulai menulis surat tak berbalas dan menyelipkannya di antara paket-paket tersebut.

Dan, di sinilah ia berhenti.

Sebuah tembok batu alam yang tingginya sekitar 1,6 meter dengan pintu pagar di antara keduanya sebagai jalan masuk. Hanya dengan melongokkan kepala, dapat dilihat garasi yang dicor setelah sebelumnya melewati pekarangan kecil Keluarga Bentley dengan kolam koi di dekat pintu yang tertutup rapat—biasanya seperti itu. Namun nampaknya, kali ini gadis itu berangkat lebih siang. Kali ini, pintunya sedikit terbuka dan dapat dilihat bahwa gorden jendela di sana sudah terbuka.

Hatinya agak gundah, entah mengapa. Perlahan telunjuknya menekan bel di tembok hadapannya, berharap wanita tua yang seolah tidak mungkin bicara apa-apa yang biasa dilihatnya waktu matahari belum begitu tinggi akan menyambutnya. Sayang, kali ini keberuntungan tidak berpihak kepadanya.

Ditariknya kaca helmnya ke bawah, tak berani menatap sosok berambut pendek sebahu yang keluar dari pintu itu. “Surat untuk Jake Bentley,” dengan kaku bibirnya bertutur sambil menyodorkan amplop putih. Terdengar desahan terkejut yang samar, selama beberapa saat suasana hening sebelum akhirnya tangan halus itu menerima amplop itu.

Cepat-cepat gadis itu menunduk sekilas hendak membalik badan. “Tunggu!” tegur suara alto di tadi, menghentikannya tepat sebelum aksinya berhasil. Kaku, itulah yang dirasakan gadis itu. Belum lagi kala namanya disebut, “Anne Hail?”

Bulu kuduknya berdiri tanpa sebab. Tanpa diperintah, ia mengangkat wajahnya dan mendapati rupa itu. Rupa dengan rahang tegas dan bibir hati, rupa yang bagai duplikat dari memori masa lalunya. “Julia,” sapanya kaku, “hai.”

Julia Bentley, gadis dengan rambut digerai sebahu itu menatap penuh intimidasi dari ujung kaki hingga topinya. Begitu pun Anne, netranya menempel pada gaya khas Julia semenjak zaman sekolah menengah. Segar dan aktif, namun tetap tidak meninggalkan kesan feminis.

“Sudah lama ya, Anne.” Julia tersenyum ramah. Anne menunduk menyembunyikan semburat merah di pipinya. Ah, rasanya seperti melihat Jake tersenyum hangat di depan wajahnya dengan penuh afeksi. Anne benar-benar merindukan Jake. Kabarnya, ia sudah kembali dua tahun lalu ... tapi mengapa Jake tidak mengabarinya? Pun, surat-surat yang dikirimnya seolah tidak berhulu.

“Kau yang menulis surat ini?” Tanpa disadari, Julia sudah membuka amplop itu dan membacanya saat Anne tenggelam dalam pikirannya. Refleks tangannya bersembunyi di belakang tengkuknya. “Uhm, iya.”

“Dan semua surat sebelumnya?”

“... iya.”

Air wajah Julia berubah. Sepertinya semua nampak sulit bagi gadis di depannya, melihat apa yang dilakukannya selama ini semenjak kabar bahwa Jake akan kembali. Tapi kabar itu 'kan sudah lama, sudah lebih dari 2 tahun yang lalu.

Jangan bilang ia lupa? Sebesar itukah rasa yang disimpan oleh Anne kepada kembarannya, Jake Bentley? 

“Ah, I should get going. Bye, Julie.” Gadis berkaos merah itu berlari ke arah motornya. Julia mengikuti langkahnya pelan, “kau bisa mampir untuk minum teh sebentar di sini. Hari ini aku senggang, kok.”

“Tidak perlu, aku masih punya beberapa paket untuk dikirim.” Anne mengunci helmnya dan menyalakan mesinnya. “Aku akan datang ke sini setiap Minggu, jadi sampai jumpa.”

“Ah, yes. You should.” Julie menimpali meski pikirannya masih berkeliaran. Tangannya melambai dengan perasaan campur aduk—sedih, marah, dan malu. Jujur, ia lebih merasa bingung untuk sekarang ini.

Semuanya sangat sulit untuk diceritakan pada gadis rapuh sepertinya. Seperti rasa sayang sudah menutup matanya dari kecelakaan pesawat yang terjadi dua tahun lalu, dan kabar bahwa jejak Jake tidak ditemukan di sana.

Yang pasti, Julia selalu mengharapkan hal yang diyakininya tidak akan terjadi: bahwa Jake akan kembali dan membaca surat yang ditulis oleh Anne sepanjang dua tahun ini.


────────────────────────
#LINEE's oneshoot in March 2021.

Komentar

Postingan Populer