Page 4: Partner in Crime.

CW // Death, Blood, and slight Harsh Words.


ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ALARM Central Bank berdering malam itu. Sepasang bayangan memunguti lembar-lembar kertas dari brankas raksasa pada ruangan tepat di tengah gedung. Pergerakannya tenang namun gesit, seolah peringatan nyaring itu tak mampu menggertak keduanya melanjutkan kriminalitas ini.

ㅤㅤㅤSuara pintu terbuka dari jauh, samar-samar. Satu di antara mereka bangkit menarik koper besar yang sudah dipersiapkan. Suara bisik-bisik kesal terdengar dari salah satunya; berusaha menarik satu lainnya yang masih terduduk ribut.

ㅤㅤㅤNaas, langkah segerombolan Adam itu mulai menyergap. Cepat-cepat bayangan itu setengah jongkok kepada rekan gerilyanya. Suara altonya terdengar berbisik, “Aku akan menyelamatkanmu nanti.” Lalu, bangun dan berlari meninggalkan wanita dengan jasnya yang tersangkut di ujung meja.

ㅤㅤㅤPintu terbuka menampakan sekelompok laki-laki berseragam dengan air wajah panik. Tak jauh berbeda dari Hawa di sana, wajahnya menunjukkan kegelisahan yang kasat. Oh, sial. Kekasihnya baru saja mengorbankannya.

ㅤㅤ “Mrs. Jean Claude, Anda akan ikut bersama kami.” Begitulah sahut salah satu polisi dengan borgol tergantung di tangan kanannya ketika sorot senter menyinari sosok paruh baya tersebut. Bibir yang terpoles merah pekat itu mengerut kesal.

ㅤㅤ  DOR! Bunyi tembakan keras dari ujung pintu ruangan itu cukup untuk menghentikan nafas setiap rungu yang mendengar. Jean, nama wanita itu; tersenyum lega. Jasnya tak sengaja tertarik dan robek, ia menyadari bahwa peluru tadi diarahkan pada kepala pria berborgol di hadapannya—terjatuh begitu saja dengan darah mengucur.

ㅤㅤㅤKesempatan bagus untuk Jean melarikan diri. Cekatan dirampasnya pistol dari saku polisi tersebut, kemudian satu lagi tembakan nyaring berhasil bersarang pada lengan polisi lainnya. Sambil bergegas, ia menyusul bayangan William Parkinson—kekasihnya di ujung sana. Mereka berdua tau polisi-polisi itu tidak akan diam saja melihat dua antek mereka tertembak sia-sia.

ㅤㅤㅤSetelah berhasil memasuki mobil yang terparkir di lorong, Jean berusaha mengatur nafasnya dan William menyalakan mesin mobil. Perlahan roda kendaraan itu berputar meninggalkan Bank itu. Wanita itu mengintip dari jendela, memastikan keadaan.

ㅤㅤㅤEntah pergerakan mereka yang terlalu gesit, atau mungkin polisi itu kebingungan mencari jalan.

ㅤㅤㅤNetranya melirik jok belakang. Kernyit mengintip di dahinya ketika menyadari sesuatu. “William, kau meninggalkan koper itu lagi?”

ㅤㅤㅤPemuda Parkinson itu tertawa kecil. “Aku sudah pernah memberitahumu, bukan?”

ㅤㅤㅤJean kembali pada posisinya semula sembari menggelengkan kepala. Dalam pandangannya, William hanya seorang pecinta adrenalin yang tersesat—bukan maniak yang gila akan nominal uang. But that’s what Jean loves about him.

ㅤㅤㅤKecepatan kendaraan mereka berkurang ketika William melihat sebuah cahaya. “Kenapa berhenti?” tanya Jean, tak menyadari situasi.

ㅤㅤㅤ“Bodoh.” Bukannya menjawab, William malah mengutuknya. “Kau tidak lihat bahwa kita terkepung?”

ㅤㅤㅤCelaka, ternyata polisi-polisi itu sudah merencanakan penyergapan dari dua arah. Jean nampak terkejut, namun berusaha tetap tenang.

ㅤㅤㅤ“Kita turun di sini, Jean.” William menggertakkan giginya sebelum membuka pintu mobil. Jean membelalakkan matanya. “Are you out of your mind?” teriaknya. Menurutnya, perbuatan William ini sama saja dengan bunuh diri. 

ㅤㅤㅤ“Jalan di sana bukan jalan buntu. Aku tau pintu rahasia di sana,” bisiknya dengan dagu mengarah ke suatu tempat.

ㅤㅤㅤMeski dengan firasat buruk yang menyelusup di dada, Jean tetap mengikuti perintah William untuk lari bersamanya. Segera mereka keluar dari mobil menghindari sorotan polisi, menyeberang ke lorong gelap itu.

ㅤㅤㅤJean menahan nafas saat William terdorong bersamaan dengan suara nyaring. Ia menahan wajah terkejut bercampur amarah ketika menemukan seorang penembak dari kepolisian di ujung sana. Tanpa pikir panjang, Jean menodongkan pistolnya ke arah penembak itu. “Aku akan membunuhmu!” teriaknya, walau sejatinya ia tak ada keberanian untuk melakukannya—ketepatan tembakannya yang sebelumnya itu adalah kebetulan belaka.

ㅤㅤㅤJemarinya gemetar bersamaan dengan air matanya meleleh. For Pete’s sake, ia tak mungkin melakukan ini bila bukan dengan William. Tak ada jalan kabur lagi baginya, mengapa harus mengancam penembak itu? Apa dirinya berpikir, penembak itu akan menurunkan senjatanya?

ㅤㅤㅤTidak. Yang benar, Jean tidak punya banyak waktu untuk berpikir karena otaknya dipenuhi oleh William. Bila bukan karenanya, ia tidak akan terjun sebagai buronan dan mungkin pria ini masih akan tetap hidup.

ㅤㅤㅤTembakan nyaring kembali terdengar seperti memecah jernihnya suara malam itu. Bersamaan dengan tubuhnya yang terasa ringan, wanita itu sadar bahwa ia tak memiliki penyesalan yang berarti atas terjunnya bersama William. Dirinya tau bahwa kekasihnya itu bukanlah orang yang baik, namun ia sangat berterima kasih sudah dipertemukan dengan laki-laki tersebut.

                               ⭒⋆⭒

Pardon me, Miss. Mengapa kau mengikutiku?” Laki-laki bersuara berat itu nampak terganggu dengan kehadiran gadis berseragam di belakangnya. Pasalnya, belia bernama Jean Claude ini—sebagaimana tercantum di name tag-nya, berkata akan meliput berita pencurian William Parkinson yang tak lain adalah dirinya sendiri. Ini bisa mendatangkan petaka baginya.

ㅤㅤㅤJean sendiri tidak tau mengapa dirinya mengikuti William bersembunyi saat polisi muncul di pintu ruangan. Saking terkejutnya, ia hanya mengikuti insting untuk bersembunyi karena takut akan dituduh sebagai rekan William.

ㅤㅤㅤTak kunjung mendapat jawaban, pemuda itu berdecak kesal dan beralih mengintip polisi tadi. Untungnya keberadaannya belum diketahui. Tapi ia tetap tak mampu menahan raut terkejutnya ketika Jean menanyakan hal yang tak wajar di telinganya. “Mengapa kau mau melakukan hal ini? Kau tidak pernah mengambil uang atau apa pun dari mereka selain nyawa.”

ㅤㅤㅤ“Haruskah aku menjawab pertanyaan tak bergunamu itu?” sarkasnya melirik kesal. Apa maksud gadis ini? Apa dia bodoh atau bagaimana?

ㅤㅤㅤMata Jean menunjukkan keseriusan, dan William muda bukanlah orang yang cukup dingin untuk mengabaikan mata penuh tanda tanya itu. Setelah membuang nafas berat, William berjongkok menyejajari Jean yang sedang duduk bersandar. “Aku ....”

ㅤㅤㅤSejujurnya, ia juga tidak yakin. “Aku tidak tau,” jedanya beberapa menit.

ㅤㅤㅤ“Aku hanya merasa lebih bebas ketika melakukan hal itu. Dan ketika mereka mengejarku, menurutku itu sangat seru,” lanjutnya. Jelas nalar Jean tidak dapat memahami jalan pikirnya. Orang gila mana yang akan mencari kepuasan dari dikejar-kejar massa sebagai tokoh antagonis?

ㅤㅤㅤHampir saja tuturnya mengatakan bahwa laki-laki di depannya ini adalah orang gila total, ketika polisi terdengar ribut-ribut di depan. Sepertinya pemilik restoran itu menyadari keberadaan William.

ㅤㅤ   “Damn it,” rutuknya geram. Jean memperhatikan gerak-geriknya yang tetap tenang di posisi mengkhawatirkan seperti ini.

ㅤㅤㅤ“Ikut aku, aku akan membantumu kabur.” Jean bangkit dan menarik tangan William. Laki-laki itu tersentak dan berbisik kesal, “Kenapa aku harus mengikutimu?”

ㅤㅤㅤSetelah terdiam sejenak, Jean mengutarakan pikirannya yang berawal dari ragu. “Aku penasaran. Setidaknya, biarkan aku menjadi rekanmu.”

ㅤㅤㅤSepertinya nalarnya sudah dibelokkan oleh takdir yang penasaran.


────────────────────────
A songfict from Yuqi’s “Bonnie & Clyde” song, based from the biography with a slight of arrangement.

Komentar

Postingan Populer