Page 2: Love Me Less.


Jemari lentik itu menekan tuts monokrom dengan gemulai. Tatapannya melayang, rapuh membayang pada awang-awang. Bibirnya gemetar namun pasti, perlahan melantunkan sepatah-dua patah prosa dengan not bak malaikat. She left all eyes speechless.

Permainan itu telah mencapai hulunya. Riuh tepuk tangan terdengar menyambut cahaya yang entah dari mana menyinari sosok di atas sana. Rupa boneka yang misterius, namun tersolek manis. Senyum tipis disertai sorot mata yang dingin. Rambut digelung dengan gamis merah panjang, dengan sedikit sentuhan hitam di bawah tumpukan mawar. Setelah badannya menunduk sebentar, langkahnya meninggalkan panggung pertunjukan dan suasana hening kembali. Entah apa yang terjadi setelahnya di depan panggung, ia tidak begitu peduli.

***

“Kamu cantik sekali di atas panggung tadi,” pemegang kemudi itu menutur. Gadis di belakangnya berdehem kecil. “Aku melihatmu di baris tengah.”

“Apakah baju yang kukenakan terlalu mencolok?” Suara bariton itu berusaha menarik canda, meski gadis manis di belakangnya hanya tertawa kecil. “Tidak, aku yang terlalu peka akan kehadiranmu.”

Wanita dengan semerbak mawar yang masih menempel di tubuhnya, feromon yang masih tertinggal dari sejam lalu bajunya diganti. Sosoknya yang anggun, menjelma menjadi gadis muda berjaket dengan rupa rapuh lewat pintu belakang panggung. Laki-laki di kemudi itu, tersenyum mengingat bagaimana hatinya merasa lega kala wajah manis gadis itu muncul tanpa cacat.

Ah, hampir saja ia lupa. “Kau lapar? Mau makan di mana?”

“Mana saja boleh,” jawab gadis itu. Tangannya masuk ke sela-sela tengkuknya, menyangga wajahnya di balik jendela mobil sebelum kelopak matanya tertutup. “As long as I'm with you, yourself, and Aiden.”

Laki-laki itu tersenyum. Tutur dayitanya selalu wangi. Rungunya seolah tak jemu mendengar kata-katanya.

Kalau dipikir lagi, sepertinya semua ini benar-benar tidak disangka.

***

Garpu dan pisau saling beradu tajam di atas sirloin steak bersaus. Tak lain, gadis dengan sorot yang sama dengan arah yang entah ke mana. Aiden Jade—pemuda yang bersamanya, menghentikan kegiatannya lalu perlahan mencoba mengambil alih pergerakan gadis itu.

“Maaf,” gadis itu menyadari kesalahannya tepat setelah tangan kasar kekasihnya mengambil alih, lalu berusaha mengerjakan semua sendiri. Aiden lalu duduk kembali di tempatnya dengan hembus nafas lega. 

Setidaknya ia yakin bahwa masa lalu kelam gadis itu tidak akan menghantuinya lagi.

Tangan yang penuh bekas luka itu menyangga dagu tegasnya. Netranya menatap lurus ke arah bulu mata panjang si manis, ia tersenyum lembut.
Pemilik rupawan, tak disangka merasakan sorot penuh afeksi yang ditujukan kepadanya itu, merasa panas. “Jangan menatapku seperti itu.”

Tawa Aiden hampir saja lepas. “Deline, aku sungguh tidak menyangka kita akan berakhir seperti ini.”

Yang disapa Deline itu masih tidak mau mendongak, berusaha mengembalikan wajah tomat rebusnya kembali seperti sedia kala. “Soal apa?” tanyanya menghadap ke dagingnya.

“Soal … kau yang dulu merupakan tipe yang sangat aku benci.”

Hening sejenak. Mata yang sama itu menatap lurus pada iris yang berlawanan. “Kalau diingat, sepertinya aku sangat membencimu dulu.”

It's all thanks to you. Kalau bukan karenamu, aku tidak akan pernah merasa sebaik ini.” Bibir Deline nampak merajut senyum sabit. Cantik—secantik bulan di balik jendela malam itu.

Aiden ikut tersenyum. Ia tidak akan merasa khawatir lagi bahwa Deline-nya akan kembali seperti kelamnya dahulu.

“Sekarang, ayo pulang.” Telapak hangatnya menggenggam milik wanita itu penuh dekapan. Ada rasa protektif yang menggerogoti lubuknya saat melihat perubahan suasana pada gadis itu, serta sesuatu yang hangat yang menyusulinya.

Soal bagaimana buruknya gadis itu di masa lalu, biarlah mereka berdua dan Tuhan saja yang tau. No turning back for now and then, no less loving for the dark past.

────────────────────────
#LINEE's oneshoot in Feb 2021,
a songfict of MAX's “Love Me Less”, featuring Quinn XCII.

Komentar

Postingan Populer